Cari

Senin, 14 Desember 2020

Sastra - Seorang Penyair


Kemana pergi hati nurani, semakin hari semakin tidak dapat aku rasakan. Bergumam dengan harapan-harapan dalam batin yang tak pernah tersingkap oleh keindahan. Hati merintih dan tertatih bersama angin-angin malam yang selalu menyelimuti gubuk tua. Kudapati seseorang sedang tertidur lelap di dalamnya. Meletakkan keningnya di atas meja yang terbuat dari pohon mahoni. Dapat kutangkap, ia sedang lelah. Tidak. Ia sedang tertunduk lesu. Lilin satu-satunya penerangan yang ia gunakan. Kertas putih di atas meja dengan coretan-coretan tak jelas di sampingnya. Kasihan sekali dia. Seorang diri terpenjara bersama sepi.

***

    Aku orang asing di sini. Di tempatku, aku tak pernah dianggap ada. Keadilan, Apa itu keadilan. Layaknya sebuah peti yang tak ada satu pun kunci untuk membukanya–palsu. Hari demi hari telah kulalui. Badai telah kuterjang. Namun, aku masih kebingungan diriku sendiri. Layaknya burung yang terpenjara dalam sarangnya.

   Tempatku, ibarat rahim asmara. Banyak muda-mudi yang mengadu perasaan di tempat ini. Tanpa terkecuali diriku. Ada yang selamat, ia mendapatkan balasan atas perasaan yang diukirnya. Disematkan pada tambatan hatinya. Namun ada pula yang gagal. Ia terjebak dalam lumbung kepedihan yang teramat dalam. Seperti halnya diriku. Hati terluka. Sedang diri berada dalam duka yang tak ada ujungnya. Tak ada yang terselamatkan. Jiwa-jiwa yang dulu muda, kini lapuk dimakan kenang. Aku disapih. Merintih dalam pengharapan-pengharapan yang berterbangan di atas sana.

    Dulu aku adalah seorang penyair. Dulu. Nun jauh di sana, sebelum aku mati dalam keadaan bernapas. Tintaku perlahan mengering. Sementara lembaran kertas berserakan di atas meja tempat aku menulis. Tak ada hari tanpa syair. Tak ada syair tanpa dirinya. Sebelum keadaan yang menginginkan kita berpisah, dahulunya aku adalah seorang penyair. Aku dipisahkan oleh keadaan. Keadaan yang bahkan orang gila tak menginginkannya.

     “Kemarilah, anak muda!” Pinta kakek tua itu.

    Lihat lukisan itu. Ia adalah alasanku menulis. Ah, perempuanku. Tak ada beda dengan perempuan lainnya. Perempuan adalah maha karya dari sang Tunggal. Begitu indah ia dicipta. Diberinya segenap rasa kasih sayang dalam dirinya. Peralatan untuk mencinta. Namun, apa makna cinta. Di muka bumi, cinta ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi ia sebagai anugerah yang menghadirkan sang Tunggal dalam kehidupan. Namun, di sisi lain, cinta adalah luka. Luka yang berujung duka. Cinta menjelma menjadi luka, ketika ia tak berhasil menempatkan dirinya di sebuah relung yang teramat dalam. Banyak orang bahagia karena cinta. Banyak pula yang mati karena cinta. Perempuanku adalah pembunuh bagiku.

     “Kemarilah, anak muda!” Sang kakek itu sembari memberikan secarik kertas kepadaku.

     Kertas ini mulai dipenuhi oleh tinta. Hitam dan pekat. Namun lekukan tiap-tiap goresannya, tersusun membentuk suatu gabungan kalimat-kalimat. Tak ada paragraf. Namun, orang buta pun akan tahu bahwsanya itu adalah suatu tulisan. Tidak, bukan tulisan. Lebih tepatnya sebuah syair. Namun, bagaimana orang buta bisa mengetahui bahwa itu syair? Padahal ia tidak bisa melihat. Benar, orang buta tidak bisa melihat. Namun orang buta masih bisa mendengar. Sementara hatinya masih bisa membaca.

    Di zaman sekarang ini orang buta  dan orang yang bisa melihat tidak dapat dibedakan. Ada yang buta, namun bisa merasakan kasih sayang dan cinta dari manusia-manusia lainnya. Begitu pula sebaliknya orang yang dapat melihat, sebenarnya ia buta. Buta akan keadilan. Namun, buta akan cinta, dan lagi-lagi, perempuan adalah dalangnya.

     Tuhan telah mengajarkan kepadaku bagaimana mencintai dengan benar. Sebab cinta bukanlah hanya sebatas yang kau pandang dan membuatmu tertarik. Bukan pula ketika hasrat dalam dirimu menggebu-gebu terhadap suatu hal. Lalu, kau larut dalam hasrat itu. Cinta lebih dari sebatas itu semua. Mengapa demikian? Sebab cinta adalah hak bagi setiap makhluk Tuhan. Bahkan orang buta pun dapat merasakan cinta. Ia memahami cinta lebih tulus dari manusia manapun. Jika kau sudah menemukan sebuah cinta. Maka cintailah.